Koneksi Antarmateri Pembelajaran Modul 2.3 Couching Untuk Supervisi Akademik (Ii Abdul Muhyi Mudrika)
Koneksi Antarmateri Pembelajaran Modul 2.3 (Couching Untuk Supervisi Akademik).
Nama saya Ii Abdul Muhyi Mudrika, CGP angkatan ke-7, lahir di Bandung pada
tanggal 29 Maret 1993, saya seorang pendidik di SDN Babakan Wangi Kec.
Cicalengka Kab. Bandung.
Pada awal pembelajaran modul 2.3 tentang couching yang pertama terbayangkan
yaitu pelatih sepakbola ternyata couch memiliki arti yang mengakomodasi atau
memberikan jalan terhadap couchee, begitu juga pada pembelajaran modul 2.3 saya
menemukan istilah-istilah yang tidak asing seperti mentoring, konseling,
training dan couching, tapi semuanya saya tidak memahami arti dari istilah
tersebut dan masih keliru untuk membedakannya, seiring perjalanan pembelajaran
modul 2.3 mulai dari diri kemudian melakukan ekplorasi dan demonstrasi
sedikit-sedikit menjadi terbuka tentang paradigma berpikir couching, kedepannya
jika diberikan kesempatan ada suatu permasalahan di sekolah saya akan mencoba
menyelesaikan dan menggunakan tekhnik couching.
Couching dalam dunia pendidikan merupakan sebuah pendekatan dengan
paradigma berpikir memberdayakan untuk mengembangkan atau memunculkan potensi
seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. Couching didefinisikan sebagai sebuah
proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan
sistematis, dimana couch memfasilitasi peningkatan atas performa kerja,
pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee
(Grant, 1999).
Di
sekolah saya menemukan banyak murid-murid yang mengalami keterlambatan belajar,
keterlambatan tersebut sangat beragam seperti tidak bisa membaca dan berhitung,
padahal ini tentu merupakan sebuah permasalahan yang akan selalu dihadapi oleh
semua guru di tingkat sekolah dasar, terkadang kalau saya sendiri selalu
mengkhawatirkan dengan murid-murid seperti itu karena bertolak belakang dengan
cita-cita bangsa yaitu mencerdaskan bangsa.
Namun
setelah mengenal pembelajaran couching saya menjadi tahu bahwa kita harus
memberikan pelayanan baik, memberikan semua fasilitas yang dibutuhkan dan memberikan
kemudahan-kemudahan belajar khusus bagi mereka untuk memecahkan permasalahan
mereka. Salah satu faktor pendukung pembelajarannya kita bisa menggunakan model
pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional, mereka harus
diajarkan dan dibimbing untuk menumbuhkan potensi sesuai kebutuhan belajarnya,
dengan begitu murid-murid diharapkan dapat memecahkan permasalahannya sendiri
dan mampu mengembangkan potensinya sesuai bakat dan minat mereka.
Peran
saya sebagai coach disekolah sangat erat kaitannya dengan pembelajaran
berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional dimana seorang couch kita
harus memfasilitasi kebutuhan belajar murid yang beragam dan memperhatikan
sosial dan emosional murid. Berdasarkan hal tersebut betapa pentingnya mengidentifikasi
dan memetakan kebutuhan belajar murid berdasarkan kesiapan belajar, minat dan
profil belajar murid. Begitu juga untuk menciptakan suasana lingkungan belajar
yang aman dan nyaman saya harus memahami dan memiliki 5 kompetensi sosial dan
emosional: yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan
berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggungjawab.
Jadi
kesimpulannya peran saya sebagai couch yang harus dilakukan yaitu memberikan
pelayanan terbaik, memfasilitasi dan mengakomodasi setiap permasalahan murid
sesuai kebutuhan belajarnya dengan memperhatikan kompetensi sosial dan
emosional untuk menumbuhkan atau memecahkan permasalahannya dan dapat menggali
potensi yang dimilikinya, hal ini sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar
Dewantara bahwa pendidikan harus bersifat menuntun, menuntun disini menurut
saya dapat dikatakan sebagai peranan couch.
Kemudian
selain itu peran couch sangat erat kaitannya terhadap pengembangan kompetensi
sebagai pemimpin pembelajaran karena seorang couch memiliki kompetensi couching
yaitu kehadiran penuh, mendengarkan aktif, dan selalu mengajukan pertanyaan
yang berbobot. Sehingga akan sangat berpengaruh terhadap kepemimpinannya karena
proses couching merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan murid yang beragam,
seorang guru harus mampu memfasilitasi kebutuhan muridnya agar berkembang
dengan baik, dan dalam proses couching juga diperlukan kompetensi sosial dan
emosional sehingga seorang couch akan mengalami perkembangan sebagai pemimpin
pembelajaran.
Setelah
memiliki keterampilan couching akhirnya kita dapat mempraktikkan terhadap rekan
sejawat yang memiliki permasalahan dengan menggunakan model TIRTA, dimana dalam
proses couching ini harus memperhatikan antara lain; Tujuan (menyepakati topik
pembicaraan), Identifikasi (menggali dan memetakan situasi), Rencana Aksi (ide
pengembangan diri) & Tanggungjawab (membuat komitmen atas apa yang dicapai
untuk langkah selanjutnya). Pada akhirnya seorang couch akan terbiasa menjadi
seorang pemimpin pembelajaran.
Sekian
yang dapat saya sampaikan, yang benar hak milik Allah dan yang salah murni dari
kesalahan tangan dan tulisan saya.
Note:
Artikel ini ditulis untuk memenuhi syarat mengerjakan tugas modul 2.3 koneksi
antarmateri.
(II
ABDUL MUHYI MUDRIKA CGP ANGKATAN KE 7)
SDN
BABAKAN WANGI KAB. BANDUNG
Sumber:
-
Paket
modul 2.3 program pendidikan guru penggerak
- Guru berbagi
Comments